October 15, 2005

BATAK MANDAILING DILIHAT DARI KITAB MAJAPAHIT


Mandailing Dalam Sejarah

Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".

Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.

Asal-Usul Nama 'Mandailing'

Beberapa pendapat telah dikemukakan mengenai asal-usul nama Mandailing. Pendapat-pendapat ini berupa andaian-andaian yang bertolak atau didasaarkan pada persamaan bunyi kata. "..adayang menduga berasal dari kata: Mande Hilang (dalam bahasa Minang), yang berarti ibu yang hilang."
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari nama satu kerajaan, iaitu Mandala Holing. Kerajaan tersebut, kemungkinan sudah muncul sejak abad ke 12, yang wilayahnya terbentang dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli dekat Panyabungan sekarang.

Dugaan itu dapat dikaitkan dengan perkataan atau istilah h(k)oling yang sejak dahulu mempunyai kedudukan yang penting dalam budaya masyarakat Mandailing. Ia terdapat dalam ungkapan "Muda tartiop sopatna, nipaspas naraco H(K)oling, niungkap buntil ni adat, nisuat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris..." Dalam kata lain, untuk mengadili seseorang harus ada empat syarat. Jika keempat syarat itu sudah ada, barulah dibersihkan neraca H(K)oling, iaitu lambang pertimbangan yang seadil-adilnya, kemudian dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan dan barulah dijatuhkan hukuman.

Perkataan atau istilah h(k)oling terdapat pula dalam ungkapan "Surat tumbaga H(K)oling na so ra sasa" yang selalu disebut-sebut dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Kalimat tersebut berarti "Surat tembaga H(K)oling yang tidak mau hapus". Yang dimaksudkan ialah aturan-aturan adat yang tidak mau hapus atau yang senantiasa lestari (kekal, tidak berubah).

Semua ini tidak membuktikan dengan pasti hubungan asal-usul masyarakat Mandailing dengan kekuasaan kerajaan Hindu yang pernah menguasai wilayah Mandailing pada masa lampau.

No comments: